Mataram Islam

Merunut Sejarah pecahnya Mataram Islam

Mengingat situasi politik, ekonomi, dan keamanan di tahun 1775.Kerajaan Mataram Islam dengan raja Sunan Paku Buwono III dipusingkan oleh pemberontakan yang dipimpin kerabatnya sendiri, yakni Pangeran Mangkubumi, yang menolak persekutuan Mataram dengan VOC. Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Paku Buwono III akhirnya dicarikan solusi dengan digelarnya pertemuan di Giyaanti. Proses panjang dialog kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi ditengahi oleh Gubernur Jenderal N Hartings akhirnya menghasilkan beberapa poin dalam perjanjian yang ditandatangani pada 17 Maret 1755
Poin yang sangat mendasar dari pertemuan itu, Pangeran Mangkubumi mendapat bagian setengah dari Kerajaan Mataram di sebelah barat Sungai Opak. Bagi yang sering atau pernah ke Yogyakarta atau Surakarta, kali Opak merupakan sungai kecil yang membelah kompleks Candi Prambanan, Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja yang pusat pemerintahannya di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah. Hak menguasai wiayah Mataram sebelah barat, menurut perjanjian itu, sifatnya turun temurun hingga sekarang. Sedangkan Mataram sebelah timur sungai Opak tetap dikuasai Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta.Wilayah bagian barat sungai Opak yaang dikuasai Pangeran Mangkubumi merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya yang memisahkan diri dari kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Saat itu, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati diberi hadiah hutan Mentaok dan kemudian atas kekuasaan Panembahan Senopati dibangunlah kerajaan Mataram.Ternyata dalam perkembangan selanjutnya, politik adu domba Belanda sukses membuat dua kerajaan ini kembali terpecah. Dalam perjalanan sejarah, Pangeran Sambernyowo dari Surakarta kemudian mendirikan kadipaten sendiri yang otonom terpisah dari Kerajaan Surakarta. Wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyowo kemudian kita kenal hingga sekarang dengan sebutan Mangkunegaran, karena pangeran ini berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro.
Sementara itu, Pangeran Notokusumo dari Yogyakarta dalam perjalanan sejarah juga mendirikan daerah otonom yang terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo mendapat kekuasaan sebagian dari wilayah Yogyakarta dan mendirikan kadipaten otonom, yakni Kadipaten Pakualaman. Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam. Kedua pangeran itu secara turun temurun mewariskan kekuasaan ekonomi, sosial., politik dan keamanan masing-masing kepada anak keturunan mereka.Jika keempat raja di empat kerajaan berdarah Mataram itu kemudian berkumpul menyamakan visi di era modern ini, tentu bukan bermaksud untuk menyatukan kekuatan untuk mendirikan negara baru. Sebab secara jelas, dan disebutkan dalam undang-undang, Kerajaan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Perundingan pembagian Kerajaan Mataram
Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa
(orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama,
Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi.

Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani ‘Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. “
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Badai belum berlalu
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) masih terus melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III. Perlawanan ini berakhir dua tahun kemudian melalui Perjanjian Salatiga. Latar belakang perjanjian ini pada waktu selanjutnya diabadikan dalam bentuk babad yang dinamakan Babad Giyanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar